Pertemuan Prabowo – Mega : Diantara Keterkaitan Emosional – Silaturahmi Kebangsaan

Nusantara, RAGAM76 views

oleh: Sugiat Santoso

JAKARTA (mimbarsumut.com) – PRESIDEN Prabowo Subianto dan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri akhirnya bertemu di Jalan Teuku Umar Jakarta Pusat yang merupakan kediaman Megawati, Senin (7/4/2025).

Konteks pertemuan yang berlangsung 1,5 jam tersebut adalah silaturahmi dalam suasana Lebaran dua sahabat lama yang terakhir kali bersua langsung di masa pengundian dan penetapan nomor urut Capres dan Cawapres oleh KPU di Bulan November 2023.

Artinya penyematan diksi yang paling tepat dalam mendeskripsikan pertemuan antara Prabowo dan Megawati adalah silaturahmi kebangsaan yang jauh melampaui narasi pertemuan untuk sekadar kepentingan politik dalam agenda kekuasaan.

Secara historis keluarga Prabowo dan keluarga Megawati punya keterikatan emosional dalam membangun Indonesia. Kakek Prabowo, Margono Djojohadikoesoemo dan ayah Megawati, Sukarno memiliki sejarah kerjasama ketika Indonesia baru merdeka yaitu dalam pembentukan Bank Negara Indonesia (BNI) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Sementara ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikoesoemo pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Menteri Keuangan di masa kepresiden Sukarno. Juga pada satu dua kesempatan, Prabowo dalam pidatonya selalu bangga mengaku di masa kecilnya pernah digendong dan ditimang oleh Sukarno ketika sedang dirinya diajak berkunjung ke Istana Negara.

Keterikatan emosional itu kemudian diwariskan pada generasi berikutnya yaitu antara Prabowo dan Megawati. Hal itu dimulai ketika Megawati bersama Presiden Abdurrahman Wahid (Gusdur) menjamin kepulangan Prabowo ke Indonesia dari Yordania di tahun 2001. Posisi Megawati kala itu adalah Wakil Presiden RI yang meminta suaminya Taufik Kiemas untuk menjemput serta memastikan Prabowo mendapatkan haknya sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).

Pada kondisi yang lebih strategis, keterikatan emosional antara keduanya menguat ketika Prabowo dan Partai Gerindra hadir dalam menyelamatkan wajah Megawati dan PDI Perjuangan jelang Pilpres 2009. Kala itu Megawati terancam tidak bisa maju sebagai capres karena terhalang ‘presidential threshold’ yang mana syarat utamanya yang harus dipenuhi menjadi pasangan capres dan cawapres paling sedikit 20 persen suara nasional dan 25 persen kursi di DPR RI.

Situasinya partai-partai sudah dalam finalisasi pembentukan koalisi. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono telah menghimpun koalisi yaitu Partai Demokrat (20,85 persen), PKB (4,94 persen), PAN (6,01 persen), PKS (7,88) dan beberapa partai politik nonparlemen yang persentase mencapai 56,60 persen.

Sementara pasangan lainnya yaitu Jusuf Kalla-Wiranto melalui koalisi Partai Golkar (14,45 persen), Partai Hanura (3,77 persen) dan beberapa partai nonparlemen telah mengumpulkan dukungan 21,95 persen yang juga memenuhi syarat maju sebagai capres dan cawapres.

Sementara PDI Perjuangan (14,03 persen) masih dalam kegamangan karena belum memenuhi syarat secara elektoral untuk mengajukan kandidat yang dimajukan sebagai capres dan cawapres. Pada situasi krisis ini, Partai Gerindra (4,46 persen) dan beberapa partai nonparlemen akhirnya bergabung bersama PDI Perjuangan hingga terkumpul dukungan 21,42 persen suara nasional, sehingga Megawati bisa maju menjadi capres di Pilpres 2009. Kala itu yang dimajukan koalisi PDI Perjuangan dan Partai Gerindra adalah pasangan Megawati-Prabowo (Mega-Pro).

Meskipun Pasangan Megawati-Prabowo akhirnya kalah di Pilpres 2009, namun kedekatan kedua tokoh ini terus berlanjut. Kerjasama politik antara PDI Perjuangan dan Partai Gerindra pada Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 dalam kemenangan fenomenal Jokowi-Ahok adalah buah manis keterikatan antara Prabowo dan Megawati.

Tidak hanya itu, komitmen antara PDI Perjuangan dan Partai Gerindra untuk berada di luar pemerintahan selama kepemimpinan SBY-Boediono di tahun 2009-2014 menjadi kenangan tersendiri bagaimana kedua tokoh ini tumbuh dan berkembang bersama masing-masing dalam membangun institusionalisasi kepartaian.

Buktinya meskipun akhirnya memilih jalan berbeda di Pemilu 2014, baik Partai Gerindra dan PDI Perjuangan adalah dua partai yang mengalami kenaikan suara dan kursi yang sangat signifikan. Pasca-berpisah jalan secara politik selama Periode pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla di tahun 2014-2019, relasi antara Megawati dan Prabowo tetap terjaga secara emosional.

Walau intensitas pertemuan tidak rutin terjadi namun praktis tidak pernah ada gesekan personal antara Megawati dan Prabowo. Situasi kemudian membaik pasca-Pilpres 2019, tepat ketika Prabowo dan Partai Gerindra bergabung ke Pemerintahan Jokowi-Maruf Amin.

Tidak terlihat sedikit pun resistensi dari Megawati terhadap Prabowo yang menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Juga sebaliknya, ketika saat ini Prabowo menduduki posisi orang nomor satu di Indonesia hampir tidak ada satu variabel yang mampu memisahkan keterikatan personal di antara keduanya.

Silaturahmi Kebangsaan

Pertemuan antara Prabowo dan Megawati berada pada level konseptual dalam berbangsa dan bernegara untuk tujuan pembangunan nasional, strategi jangka panjang, dan menginspirasi masyarakat. Artinya ini tidak sekadar pembahasan pembagian kursi di kabinet atau pembangunan koalisi dalam kerangka elektoral karena pelaksanaan Pilkada telah selesai. Tentu pada tingkatan yang lebih tinggi pertemuan Prabowo – Megawati adalah wujud silaturahmi kebangsaan dalam upaya menyelesaikan banyak persoalan di Indonesia saat ini.

Utamanya dalam menghadapi tantangan global di bidang ekonomi, sosial, dan geopolitik. Tidak hanya itu, pengalaman yang dimiliki Megawati dalam menghadapi pelbagai krisis ketika menjabat sebagai Presiden RI tentu menjadi masukan penting bagi pemerintahan Prabowo. Selain itu dukungan dari Megawati dan PDI Perjuangan terhadap Pemerintahan Prabowo juga menjadi satu hal yang tidak kalah penting.

Setidaknya terdapat 3 (tiga) catatan penting terkait krisis yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Pertama, kondisi ekonomi nasional sebagai dampak global tidak dalam keadaan baik, seperti; nilai rupiah atas dolar saat ini sudah menyentuh Rp17.000-an, tarif impor Trump 32 persen dari Amerika Serikat ke Indonesia dan kondisi IHSG sedang negatif. Kedua, ketidakstabilan sosial melalui banyaknya demonstrasi pasca-pelbagai kebijakan non-populis pemerintah dan pembahasan beberapa RUU.

Ketiga, tantangan dalam geopolitik utamanya dalam menciptakan keseimbangan global pasca-Indonesia bergabung ke kelompok ekonomi BRISC serta kesiapan Indonesia ketika terdapat potensi tekanan dari barat dan bagaimana menjaga keseimbangan hubungan luar negeri dalam penguatan diplomasi multilateral.

Di sisi lain dalam kebijakan nasional, Pemerintahan Prabowo-Gibran saat ini juga sedang fokus menggalakkan program-program prioritas, misalnya: Program Makan Bergizi Gratis (MBG), Danantara, program cek kesehatan gratis, dan pembangunan sekolah rakyat yang juga membutuhkan dukungan politik dari banyak pihak di DPR.

Memang silaturahmi kebangsaan di antara Prabowo-Megawati tidak secara otomatis bisa menyelesaikan berbagai persoalan di negeri ini. Satu catatan penting dari silaturahmi tersebut melahirkan harapan bersama dan dukungan psikologis bahwa Indonesia siap menghadapi potensi terburuk bila terjadi krisis ekonomi global.

Tidak hanya itu, pada program prioritas pemerintah yang sedang berjalan otomatis melahirkan optimisme dari rakyat karena terciptanya persatuan nasional melalui keakraban para pemimpin dalam tujuan kesejahteraan rakyat. (Penulis adalah Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI dari Fraksi Gerindra dan Mahasiswa Doktoral Studi Pembangunan Fisip USU)

Laporan : red

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed