8 Bulan Pandemi, 56 Persen Ibu Rumah Tangga Alami Stres

JAKARTA (MS) ‐ Setelah lebih dari 8 bulan pandemi COVID-19, sebuah survei menunjukkan bahwa 56 persen ibu rumah tangga mengaku stres dan mengalami gejala kecemasan, sulit tidur, serta mudah marah.

Survei yang dijaring oleh aplikasi Teman Bumil dan platform riset pasar Populix ini melibatkan 1.230 partisipan, tapi hanya 1.192 yang masuk kriteria analisis.

Mayoritas adalah ibu rumah tangga yang sudah menikah dengan 1-2 anak (54 persen) dan diikuti sudah menikah tapi belum punya anak (43 persen).

Hasilnya menunjukkan, 9 dari 10 (91 persen) ibu rumah tangga yang mengikuti survei mengaku terdampak Covid-19.

Sebanyak 643 orang (60 persen) mengalami masalah terbesar di sektor keuangan, 37 persen di sektor kesehatan terkait kecemasan terhadap Covid-19, dan hanya 3 persen ibu rumah tangga yang bermasalah dengan pendidikan jarak jauh untuk anak-anaknya.

Masalah keuangan yang morat marit, memicu masyarakat mengalami stres. 56 persen responden mengaku stres dengan kondisi ini, bahkan sebagian (25 persen) memengaruhi hubungannya dengan pasangan.

Gejala stres yang dialami antara lain cemas (29 persen), sulit tidur (18 persen), mudah marah (17 persen) dan kehilangan minat untuk mengerjakan apapun.

Dari gejala tersebut, sebagian besar responden dilaporkan tidak ada yang mencoba mencari bantuan ke profesional (dokter atau psikolog).

Mereka cenderung pasrah dan berserah diri (63 persen) atau minta dukungan ke suami (19 persen). Ibu rumah tangga lainnya mencoba mencari kesenangan dan hiburan diri sendiri (8 persen).

Psikolog keluarga Anna Surti Ariani, memberikan pandangannya terhadap hasil survei ini. Dia memaparkan bahwa sektor keuangan memang menjadi aspek penting dalam keluarga. Semua masalah di keluarga bisa selalu berujung pada masalah keuangan.

Dia kemudian menjadikan era pandemi ini sebagai contoh. Saat ada anggota keluarga yang memiliki penyakit kronis, sektor keuangan pasti akan terdampak akibat biaya ekstra ke rumah sakit atau melakukan tes swab.

“Awalnya mungkin hanya masalah kesehatan, tapi berujung pada keuangan karena yang bersangkutan harus tetap bekerja demi merawat anggota keluarga yang sakit. Bisa muncul pula ketegangan dengan pasangan karena kelelahan mengurus keluarga yang sakit,” paparnya, dalam siaran pers yang diterima CNNIndonesia.com, Rabu (11/11).

Nina kemudian mengungkapkan bahwa pelan-pelan masyarakat menjadi terbiasa dengan kondisi sulit akibat pandemi dan mulai menunjukkan tanda-tanda survive atau bertahan

“Kita bisa melihat komunitas-komunitas yang saling membeli dari usaha temannya. Model kehidupan seperti ini membantu menyelamatkan mereka dari krisis dan ini harus
dipertahankan,” ujarnya.

Dalam survei ini, turut dipapakan bahwa kesulitan keuangan di masa pandemi berbeda-beda, tergantung kelompok sosial ekonomi dan wilayah domisili.

Korban pemotongan gaji, lebih banyak dialami oleh responden kelas menengah ke atas. Sedangkan untuk kelas menengah ke bawah, rata-rata menjadi korban PHK dan lebih sulit mencari pekerjaan.

Responden yang mengalami masalah keuangan akibat usaha sepi pembeli, mayoritas tinggal di Bandung (45 persen). Hal ini kemungkinan disebabkan turunnya jumah wisatawan yang signifikan.

Perencana Keuangan Keluarga, Rista Zwestika menjelaskan, pandemi Covid-19 ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat belum melek finansial.

“Sebagian besar tidak pernah menganggarkan dana darurat. Padahal saat terjadi kehilangan pekerjaan, dana darurat bisa menjadi penolong,” kata Rista.

Dia kemudian menyarankan bahwa idealnya, dana darurat yang harus dipersiapkan adalah minimal 6 kali pengeluaran bulanan bagi yang lajang, 9 kali penghasilan jika menikah tanpa anak, 12 kali jika memiliki anak 1, dan seterusnya.(CNN Indonesia).

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed