JAKARTA (MS) ‐ Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa Menteri dalam Negeri (Mendagri) maupun Presiden tak memiliki kewenangan untuk mencopot kepala daerah yang telah dipilih oleh rakyat.
Hal ini merespons polemik Instruksi Nomor 6 tahun 2020 tentang Penegakan Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19 yang dikeluarkan Mendagri Tito Karnavian pada Rabu (18/11).
Instruksi itu disebut memberi kewenangan Mendagri untuk mencopot kepala daerah yang melanggar atau membiarkan pelanggaran protokol kesehatan di tengah penanganan pandemi Covid-19.
“Nah, kalau ditanya apakah bisa diberhentikan, apakah Gubernur itu bisa diberhentikan oleh Presiden? Tentu tidak. Apakah Mendagri bisa memberhentikan Bupati, Wali Kota? Tentu tidak,” kata Yusril dalam acara ILC di TVOne, Selasa (24/11 malam.
Menurut Yusril, Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Maka, pemberhentian mereka hanya bisa dilakukan oleh rakyat lewat mekanisme tidak langsung di DPRD.
Dalam prosesnya, DPRD melakukan sejumlah mekanisme seperti interpelasi, hak angket, hingga penyampaian pendapat sebelum kemudian dibawa ke Mahkamah Agung. Interpelasi adalah permintaan badan anggota legislatif kepada pemerintah mengenai kebijakan di bidang tertentu.
“Lalu dengan pernyataan pendapat, bahwa kepala daerah itu telah melanggar pasal 67b, lalu kemudian pendapatnya itu disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diputuskan apakah beralasan hukum atau tidak,” kata Yusril.
Yusril turut menyinggung asas contrarius actus yang disebut menjadi dasar kewenangan Mendagri atau Presiden dapat mencopot kepala daerah. Menurut dia, asas tersebut tak bisa digunakan sebagai dasar pencopotan kepala daerah oleh pemerintah pusat.
Sebagai definisi, contrarius actus memberi kewenangan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara, berwenang membatalkannya.
Menurut Yusril, asas tersebut tidak bisa digunakan Presiden atau Mendagri sebagai dasar atau legalitas untuk mencopot kepala daerah. Sebab, katanya, kepala daerah telah dipilih oleh rakyat sebelum kemudian ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Mantan Menteri Sekretariat Negara era Presiden keenam RI SBY itu menjelaskan sekalipun Presiden mengeluarkan surat keputusan (SK) pengesahan, keputusan tersebut hanya bersifat ketetapan.
Sementara, rakyat dan KPU tetap menjadi pihak yang telah mengangkat seseorang menjadi kepala daerah.
“Jadi tidak bisa Presiden memberhentikan gubernur, bupati dan wali kota karena dia (presiden) menerbitkan SK. SK-nya itu adalah keputusan tentang pengesahan. Bukan presiden yang menunjuk dia menjadi gubernur atau bupati, wali kota,” kata dia.
“Karena itu presiden tetap tidak bisa memberhentikan gubernur bupati wali kota itu dan tidak bisa menggunakan prinsip contrarius actus di situ,” imbuh Yusril.
Interpelasi
Yusril juga menyebut pemberhentian terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan lewat mekanisme politik saat ini sulit dilakukan.
Sebelumnya, Fraksi PSI di DPRD DKI Jakarta berencana mengajukan hak Interpelasi untuk meminta keterangan Anies yang diduga melakukan pembiaran terhadap kerumunan oleh ribuan simpatisan Rizieq di sejumlah tempat.
Yusril berpendapat, secara politis Anies akan sulit dimakzulkan karena alasan telah melakukan pelanggaran dengan membiarkan kerumunan di tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) DKI Jakarta.
“Secara politis saya menganggap bahwa itu kecil sekali kemungkinannya akan terjadi pada gubernur DKI. Tapi secara teoritis hukuman, prosedur seperti itu bisa saja terjadi. Walaupun fraksi PSI mau mencoba silakan. Tentu akan dihadapi oleh fraksi-fraksi lainnya, membela gubernur,” katanya.
Sebelumnya, Gubernur Anies Baswedan disorot usai sejumlah kerumunan terjadi di Jakarta dalam acara-acara yang menghadirkan pimpinan FPI Rizieq Shihab.(CNN Indonesia).