DOSEN PENGAMPU : RAHMA HAYATI, S.Sos, M.Sos
DIBUAT OLEH KELOMPOK 10 :
CANTIKA ZEFANYA NAPITUPULU (210901016)
AGRESIA NOPELA SIANIPAR (210901110)
WELMARIA SINAGA (210901112)
JONES PANJAITAN (210901094)
PRODI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL & ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2022
LATAR BELAKANG
Setiap keluarga memimpikan dapat membangun harmoni keluarga yang bahagia dan saling mencintai, namun pada kenyataannya banyak keluarga yang merasa tidak nyaman, tertekan dan sedih karena kekerasan yang terjadi dalam keluarga, baik kekerasan yang bersifat fisik, psikologis, seksual, emosional, maupun penelantaran.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal.
Rumah tangga tempat kekerasan sering berlangsung adalah wadah dari suatu kehidupan penghuninya. KDRT bukan hanya terjadi suami dengan istri, juga bisa terjadi pada orangtua dengan anak.
Sementara itu, lingkup rumah tangga sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Perilaku atau tindak kekerasan dalam rumah tangga sebagai fakta sosial bukanlah perkara baru dari perspektif sosiologis masyarakat Indonesia. Persoalan ini sudah terjadi sejak lama dan masih berlanjut hingga kini.
Kekerasan dalam rumah tangga sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut, Bab 1 Tentang Ketentuan Umum Pasal 2 adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan penelantaran rumah tangga termasuk ancama untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Selain itu, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fakta sosial yang bersifat universal seperti banyak terjadinya pernikahan dini, ketidakseimbangan finansial/ekonomi, perselingkuhan dll.
KDRT dapat terjadi dalam rumah tangga keluarga sederhana, miskin dan terkebelakang maupun rumah tangga keluarga kaya, terdidik, terkenal, dan terpandang.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK), dalam 5 tahun terakhir ini, merilis laporan bahwa terjadi 83 kasus kekerasan dalam rumah tangga di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Sebagian besar kasus itu merupakan kekerasan suami terhadap istri. Para perempuan korban tindak kekerasan itu antara lain mengalami kekerasan fisik, psikis, dan ekonomi karena tidak dinafkahi atau diperas dan kekerasan seksual atau kombinasi diantara semuanya itu.
Perkara tersebut kemudian berakhir dengan perceraian (30 kasus), pidana (9 kasus), mediasi (6 kasus), dan konsultasi pernikahan (38 kasus). Tindak kekerasan terselubung ini baru dianggap serius dan masuk ke dalam tindak kejahatan dengan sanksi hukum pidana sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
KDRT DALAM KONSEP SOSIOLOGIS
Kekerasan dalam rumah tangga secara konseptual berbanding sejajar dengan kekerasan – kekerasan lain termasuk kekerasan politik. Sebagai pembanding terhadap persoalan ini, Gurr mendefinisikan kekerasan politik sebagai berikut : “semua serangan kolektif dalam komunitas politik terhadap rezim politik, aktornya – termasuk kelompok politik yang bersaing serta petahana – atau kebijakannya. Konsep mewakili serangkaian peristiwa, properti bersama yang merupakan penggunaan kekerasan yang sebenarnya atau yang diancam. Konsep ini mencakup revolusi, perang gerilya, kudeta, dan kerusuhan.”
Definisi di atas menunjukkan bahwa tindak kekerasan politik amat luas cakupannya, yang meliputi semua kejadian yang unsur utamanya adalah penggunaan atau ancaman penggunaan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku / aktor atau kelompok aktor yang menentang penguasa negara.
Selain itu, Galtung mendefiniskan kekerasan dalam pengertian yang lebih luas sebagai “any avoidable impediment to self-realization”, yang berarti segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi dirinya secara wajar.
Koseptualisasi tentang kekerasan yang diajukan Galtung tersebut mencakup dua jenis kekerasan, yaitu kekerasan langsung atau personal dan kekerasan tidak langsung atau struktural. Kekerasan langsung adalah kekerasan yang dilakukan oleh satu atau sekelompok aktor kepada pihak lain (violence–as-action), sementara kekerasan struktural terjadi begitu saja (built-in) dalam suatu struktur (violence-as-structure) atau masyarakat tanpa aktor tertentu atau dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan alat kekerasan.
Penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dimungkinkan karena situasi yang terbentuk dalam rumah tangga dimana dominasi yang satu ke atas yang lain begitu kuat disebabkan beberapa faktor seperti akan dijelaskan kemudian. Dominasi tersebut akan terus berlanjut selama tingkat ketergantungan pihak yang didominasi kepada yang dominan tetap tinggi.
KDRT dapat dikelompokkan ke dalam lima bentuk, yaitu:
1.Kekerasan fisik dalam bentuk pemukulan dengan tangan maupun benda, penganiayaan, pengurungan, pemberian beban kerja yang berlebihan, dan pemberian ancaman kekerasan.
2. Kekerasan verbal dalam bentuk caci maki, meludahi, dan bentuk penghinaan lain secara verbal.
3. Psikologi atau emosional yang meliputi pembatasan hak-hak individu dan berbagai macam bentuk tindakan teror.
4. Kekerasan ekonomi melalui tindakan pembatasn penggunaan keuangan yang berlebihan dan pemaksaan kehendak untuk untuk kepentingan-kepentingan ekonomi, seperti memaksa untuk bekerja dan sebagainya.
5.Kekerasan seksual dalam bentuk pelecehan seksual yang paling ringan hingga perkosaan.
CONTOH KASUS TERHADAP KDRT
Banyak terjadi kasus KDRT, dari salah satu penyanyi dangdut yang dibuat heboh netizen/publik, Lesti Kejora dengan Rizky Billar. Lesti yang melaporkan Rizky Billar karena adanya tindakan kekerasan fisik yang dia alami hingga Lesti masuk rumah sakit. Adanya tindakan yang dilakukan dikarena Rizky Billar ketauan adanya perselingkuhan.
Sebelum itu, ada juga jauh sebelumnya dikalangan publik figur banyak mengalami KDRT hingga berujung perceraian. Salah satunya Manohara Odelia Pinot dengan mantan suaminya dari keturunan pangeran Kelantan Tengku Muhammad Fakhry Petra. Manohara mengalami kekerasan hingga membuat menjadi stress dan terpukul karena yang dialami sehinggu membuat menurunnya berat badan yang drastis hingga Manohara memilih perceraian.
APA AKIBAT KDRT ?
Kekerasan terhadap korban dapat mengakibatkan rasa trauma, berpengaruh ke anak. Seorang anak korban tindak kekerasan dalam rumah tangga akan kehilangan kesempatan dan semangat dalam hidupnya, termasuk kesempatan dan semangat untuk melanjutkan pendidikan.
Selain itu, seringkali akibat dari tindak kekerasan dalam rumah tangga tidak hanya menimpa korban secara langsung, tetapi juga anggota lain dalam rumah tangga secara tidak langsung. Tindak kekerasan seorang suami terhadap istri atau sebaliknya, misalnya dapat meninggalkan pengaruh negatif yang mendalam di hati mereka, anak-anak dan anggota keluarga yang lain. Pengaruh negatif ini pada akhirnya dapat pula menimbulkan kebencian dan malah benih-benih dendam yang tak berkesudahan terhadap pelaku.
TINDAKAN KDRT TERMASUK KEJAHATAN ?
KDRT dalam bentuk apapun jelas tergolong tindak kejahatan dan pelanggaran berat terhadap nilai-nilai kemanusian yang universal dari perspektif hak asasi manusia (HAM). KDRT mulai dipandang sebagai tindak kejahatan dengan ancaman hukuman pidana setelah perkara ini ditetapkan sebagai pelanggaran pidana sebagaimana diataur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Penetapannya sebagai kejahatan dengan ancaman hukum pidana amat dipengaruhi oleh suatu keadaan dimana kasus-kasus tentang KDRT makin menguat dan terbuka hingga memancing reaksi keras publik.
Sebagai sebuah kejahatan, KDRT juga merupakan perilaku antisosial yang merugikan seorang anggota atau sejumlah anggota dalam rumah tangga dari segi fisik, kejiwaan maupun ekonomi. Penggolongannya ke dalam tindak kejahatan tidak karena perbuatan tersebut bersifat antisosial tetapi karena mengandung maksud jahat (mens rea) yang dapat menimbulkan akibat kerugian fisik dan non-fisik terhadap korban yang dilarang oleh undang-undang pidana.
SISTEM NILAI TERHADAP KDRT
Kejahatan dalam KDRT sebagaimana lazimnya tindak kriminal yang lain tidak mungkin dapat dihilangkan atau dihapuskan hanya dengan pemberlakuan sanksi hukum pidana seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
Dalam perspektif sosiologis, mengenali latar belakang sosial pelaku dan korban akan memudahkan siapa pun untuk lebih dapat memahami peristiwa dan faktor – faktor penyebabnya.
Semua anggota dalam suatu rumah tangga merupakan makhluk sosial yang lahir dan terbentuk oleh lingkungan sosialnya.
Pengaruh lingkungan sosial terhadap watak dan perilaku seseorang di dalam maupun di luar rumah tangga amatlah besar. Kekerasan dalam rumah tangga tidak dapat dilepaskan dari pengaruh dominasi dan kekuasaan pelaku terhadap korban yang terbentuk dari pola pikir dan pandangan hidup (world viem) berdasar kebudayaan dan sistem nilai yang ia jalankan.
Agama sebagai sebuah sistem kepercayaan dalam pandangan sosiologis merupakan sebuah pranata sosial di samping institusi keluarga, pendidikan, ekonomi, dan politik. Meskipun agama sesungguhnya bukan merupakan sebuah sistem nilai, akan tetapi ajaran-ajaran yang dikandungnya akan bekerja dalam hati dan pikiran untuk memungkinkan pemeluknya membangun sistem nilai tersendiri yang dipedomani dalam menjalankan kehidupannya. Karena itu, perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi dan mereka sandarkan sepenuhnya kepada nilai-nilai budaya lokal maupun global melainkan juga dipengaruhi oleh kepercayaan atau agama yang mereka anut.
Di luar kepercayaan dan agama yang dianut, manusia secara sosiologis menjadikan kebudayaan sebagai pegangan dan pedoman dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam kehidupan berumah tangga. Melalui nilai-nilai dan sistim nilai yang dibentuknya, kebudayaanlah sebenarnya yang mengajarkan mereka cara bertindak dan bertingkah laku dalam pergaulan sosial dengan sesama di lingkungan tempat tinggal, termasuk dengan semua anggota dalam rumah tangga.
KDRT yang melibatkan laki-laki atau suami dan perempuan atau istri sebagai pelaku maupun korban adalah konsep tentang femininitas. Sebagai konstruksi sosial, Widjajanti M.Santoso melihat femininitas secara umum dipahami sebagai cara kekuasaan mendefinisikan perempuan, bagaimana perempuan seharusnya bersikap dan berperilaku.
Dalam arti kata lain, ialah cara bagaimana masyarakat mengidealisasikan perempuan.Terpengaruh oleh pernyataan Gouda tentang kolonialisme dan kewajiban moral pemerintah kolonial (Belanda) yang rakus untuk mendidik rakyat pribumi, dia menambahkan perbedaan pemahaman antara laki – laki dan perempuan dalam dua kebudayaan yang berbeda.
Jika di Barat, perbedaan – perbedaan lelaki dan perempuan lebih dilihat dari segi biologis, yang cenderung melihat perempuan subordinat dan tidak berdaya. Maka di Indonesia, perbedaan – perbedaan tersebut berkaitan erat dengan kekuasaan, status, kecenderungan moral, dan kepedulian sosial.
Pernyataan Gouda tersebut dia lihat sebagai kecenderungan pola white men burden yang mengindikasikan kewajiban dari mereka yang superior dan yang memiliki kemampuan terhadap mereka yang subordinitas dan yang memiliki keterbatasan.
SITUASI KONFLIK KDRT
KDRT merupakan pertanda keharmonian dalam rumah tangga terigantikan oleh sitausi konflik. Konflik dalam tataran sosiologis diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, bisa juga kelompok, dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.
KDRT sesungguhnya terjadi dalam situasi konflik yang dipicu oleh perbedaan antara anggota – anggota dalam rumah tangga dalam berbagai aspek. Perbedaan – perbedaan itu membuat anggota-anggota dalam rumah tangga terutama suami dan istri satu sama lain sulit untuk bisa saling memahami.
Sesuatu yang dianggap baik, wajar dan tepat oleh pelaku kekerasan belum tentu demikian dalam pandangan korban, sehingga mereka sulit untuk bisa menyesuaikan diri dan memenuhi keinginan – keinginan masing – masing. Dalam situasi dimana keinginan dan harapan tidak terpenuhi akan muncul prasangka bahwa di rumah tangga tidak lagi ditemui kepedulian dan penghargaan terhadap sesama sehingga akhirnya memicu pihak yang lebih dominan dan berkuasa untuk melakukan tindak kekerasan terhadap yang lemah atau yang dikuasai.
Konflik yang terjadi menggiring pelaku KDRT ke arah perilaku menyimpang yang tidak sejalan dengan tuntunan nilai-nilai asli budaya lokal Indonesia dan norma-norma sosial yang dipedomani oleh masyarakat. Ini berarti nilai-nilai luhur budaya dan norma-norma sosial tersebut bagi masyarakat ketika tindak KDRT terjadi tidak lagi berperan sebagai pedoman utama dan alat pengendali dalam menjalankan fungsi-fungsi sosial mereka, termasuk dalam rumah tangga.
Demikian pula, peran agama yang dianut oleh pelaku sebagai salah satu pranata sosial yang mengajarkan pemeluknya nilai-nilai luhur dalam berperilaku sosial dan berinteraksi dengan sesama, termasuk dengan keluarga, menjadi lumpuh.
Pengaruh dari Situasi Anomie, dalam keadaan bebas nilai seperti ini, KDRT terjadi ketika pelaku berada dalam situasi tidak menentu, kacau, dan kehilangan pegangan. Keadaan ini lah yang dalam perspektif sosiologis dikenal dengan situasi anomie, yaitu suatu istilah yang diperkenalkan pertama kali oleh Sosiolog Perancis abad ke 19, Emile Durkheim, untuk menggambarkan keadaan yang kacau tanpa hukum atau tanpa peraturan. Jika ada pendapat kukuh mengatakan bahwa mustahil seseorang bertindak seburuk apa pun secara bebas nilai, maka nilai yang dipegang pelaku tindak KDRT ketika tindakan tersebut terjadi adalah nilai-nilai ketidak menentuan yang terkandung dalam situasi anomie.
Anomie adalah sebuah konsep cemerlang yang diajukan Durkheim ketika menjelaskan sebab-sebab orang melakukan tindakan bunuh diri (suicide) untuk menggambarkan kekacauan yang dialaminya. Keadaan tersebut dicirikan oleh ketidakhadiran atau berkurangnya standar atau nilai-nilai, perasaan alienasi atau keterasingan dan ketiadaan tujuan dalam hidupnya.
Anomie umumnya terjadi ketika masyarakat sekitar mengalami perubahan-perubahan besar dalam ekonomi, entah semakin baik atau semakin buruk. Anomie lebih umum terjadi ketika terdapat kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang umumnya diakui dan dipraktikkan dalam kehidupan keseharian masyarakat.
Kekacauan pikiran yang menyebabkan pelaku melakukan tindakan bunuh diri sejatinya menggambarkan situasi kejiwaan dan emosionalnya yang tidak stabil.
Oleh sebab itu, KDRT di luar faktor psikologis individu pelaku, seperti karakter yang pemarah, mudah bosan dan suka dengan tindakan-tindakan yang dapat mengakibatkan kesakitan pada orang lain, disebabkan pula oleh faktor-faktor eksternal di luar individu bersangkutan. Dalam hal ini, kata kuncinya adalah perubahan sosial budaya sebagai sebuah gejala perubahan struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Meskipun perubahan sosial budaya merupakan sesuatu yang alamiah sesuai perkembangan zaman dan hasrat manusia untuk melakukan perubahan, perubahan sosial budaya terjadi karena beberapa faktor internal, seperti komunikasi, cara dan pola berpikir masyarakat, perubahan jumlah penduduk, penemuan baru, konflik, dan revolusi.
Perubahan sosial budaya juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor luar atau eksternal, seperti bencana alam, perubahan iklim, peperangan dan pengaruh kebudayaan asing atau kebudayaan masyarakat lain. Karena itu, situasi anomie pada satu segi dan konflik pada segi yang lain dapat secara serentak berperan dalam mendorong terjadinya KDRT. Kedua kondisi tersebut saling berkaitan sebagai satu kesatuan organik sehingga sulit membedakan dengan pasti antara tindak KDRT yang dipicu oleh konflik pribadi dan atau konflik permanen dalam rumah tangga, dan tindak KDRT karena pengaruh situasi anomie lantaran perubahan sosial yang drastis.
Kenyataan menunjukkan banyak kasus KDRT terjadi ketika masing-masing pihak dalam rumah tangga gagal menyikapi kondisi sosial di luar rumah tangga secara cerdas sehingga berimbas ke dalam rumah tangga.
Dalam banyak kasus KDRT, faktor pemicu yang umum mengakibatkan kekacauan emosi dan pikiran itu adalah ketidak seimbangan dalam aspek ekonomi. KDRT yang secara spesifik disebabkan oleh persoalan ekonomi sejatinya dapat digolongkaan kedalam dua kelompok, yaitu persoalan ekonomi murni dan persoalan ekonomi yang muncul lantaran pengaruh kebudayaan luar. Kelompok yang pertama merupakan persoalan yang timbul untuk memenuhi kebutuhan dasar atau primer (basic needs), sementara kelompok kedua merupakan persoalan ekonomi yang muncul karena pemenuhan kebutuhan tambahan atau sekunder yang dipengaruhi oleh budaya konsumerisme sebagaimana nampak menonjol di kalangan masyarakat perkotaan.
PENCEGAHAN TINDAKAN KDRT
Banyak hal positif dapat dipelajari dan diambil manfaatnya dari hubungan-hubungan sosial yang dibangun dalam rumah tangga. KDRT sesungguhnya dapat dihindarkan jika suatu rumah tangga ditegakkan dengan menjalankan berbagai prinsip positif dan etika luhur berdasarkan fungsi anggota menurut hak dan kewajiban masing-masing.
Menghapus tindak KDRT dapat dimulai dengan menghilangkan sebab-sebab dan unsur-unsur pemicunya. Dalam kaitan ini, sekurang-kurang terdapat banyak cara dan usaha yang patut dilakukan agar KDRT terelakkan atau setidak-tidaknya dapat dikurangi intensitasnya.
Diantaranya ialah:
memperkuat jaringan sosial
semua anggota dalam suatu rumah tangga, terutama suami atau istri yang menjadi antra aktor utama dalam rumah tangga dengan latarbelakang sosial yang berbeda seharusnya dapat memperkuat struktur jaringan sosial rumah tangga mereka.
Caranya ialah dengan selalu berusaha untuk menyamakan visi, menyeragamkan nilai-nilai dan menyatukan ide dan gagasan masing-masing ke dalam idelaisme dan cita–cita bersama, meskipun untuk itu toleransi yang memadai dari masing-masing pihak amat diperlukan. Jika situasi kebersamaan itu berhasil diciptakan, maka setiap aktor dalam rumah tangga tidak lagi memandang pendapatnya masing-masing sebagai yang paling tepat dan benar. Ini dapat menyangkut banyak hal, seperti pandangan tentang jumlah anak yang ideal, kedudukan masing-masing angggota sesuai hak dan tanggungjawabnya, karir, pendidikan anak-anak, dan sebagainya.
Dengan demikian, kekuasaan dan dominasi yang satu terhadap yang lain yang menjadi antara penyebab KDRT akan hilang dengan sendirinya bersamaan dengan hilangnya KDRT.
Memahami Kearifan Budaya Lokal
meskipun agama sepatutnya menjadi acuan dan sumber nilai yang utama mengatasi sumber nilai yang lain, seringkali tradisi dan budaya lokal dalam praktik kehidupan sehari-hari suatu rumah tangga menjadi begitu penting. Karena begitu pentingnya, maka kesalahan dalam memahami dan menempatkan nilai-nilai tradisi dan budaya itu seringkali menjadi penyebab munculnya konflik antarindividu yang berakibat terjadinya tindak KDRT. Oleh karena itu, suami, istri, dan anggota lain dalam rumah tangga dengan latarbelakang tradisi dan budaya yang berbeda perlu memahami dan mengekpresikan nilia – nilai positif budaya masing -masing dalam kesalehan lingual atau kesalehan verbal melalui ucapan dan tuturkata yang santun, sejuk, damai dan menyenangkan.
Selain itu, mereka juga dapat menunjukkannya dalam kesalehan sosial melalui perilaku yang sopan, sikap pemaaf, dan sebagainya.
Pemahaman yang memadai tehadap nilai – nilai budaya lokal akan membantu setiap individu tidak sampai terjebak ke dalam pengaruh budaya luar dalam bungkusan globalisasi yang kini gencar melanda seluruh pelosok dunia. Meskipun banyak juga aspek positif yang dapat diserap dari padanya, akan tetapi globalisasi berpotensi kuat menggiring manusia ke arah situasi anomie. Ini cenderung terjadi karena globalisasi antara lain dicirikan oleh derasnya laju transformasi berbagai bentuk budaya, sikap, dan pandangan hidup manusia modern yang tidak semuanya tepat dari sisi pandang budaya lokal (Indonesia) dan agama.
Memperkuat Fondasi dan Bangunan Ekonomi Keluarga
Menjalani hidup berkeluarga seadanya dalam tingkat kepasarahan yang tinggi tampaknya kini tidak lagi sesuai dalam kehidupan yang semakin kompleks dengan sederatan tuntutan yang mesti dipenuhi. Kompleksitas kehidupan tidak hanya berlaku di perkotaan tetapi juga di pedesaan dengan sejumlah persamaaan dan perbedaannya. Beban hidup yang terlalu berat dapat mengakibatkan ketidak seimbangan emosi hingga memicu terjadinya tindakan KDRT. Kerana itu, seluruh anggota dalam suatu rumah tangga sesuai kesanggupan masing-masing harus melakukan usaha-usaha yang dapat memperkuat fondasi dan struktur bangunan ekonomi keluarga mereka.
Tanggungjawab utama memang berada di atas pundak suami. Sebagai kepala keluarga, suami mesti bekerja keras dalam bidang yang ia tekuni dan tidak mudah goyah oleh pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan ia mudah melepaskan pekerjaan utamanya. Selain kukuh dengan pekerjaan utama, suami juga ditunut untuk selalu berusaha mencari peluang untuk dapat melakukan inovasi dan menciptakan kreasi-kreasi baru meskipun tidak sejalan dengan bidang pekerjaannya yang utama.
Selain itu, istri sebagai anggota utama keluarga yang kedua juga dapat melakukan hal yang sama seperti suaminya, lebih-lebih bila dia juga ikut bekerja dalam sektor formal atau informal. Kecuali anak yang sudah bekerja, anak yang sedang menempuh pendidikan tentu tidak dituntut untuk dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi keluarga. Akan tetapi ia tetap dapat melakukan penguatan ekonomi keluarga secara pasif dengan berhemat dan meminta kedua orangtuanya untuk mememenuhi kebutuhannya yang pokok-pokok saja.
Mengamalkan Ajaran Agama.
Agama, khususnya Agama Islam, adalah ajaran yang merupakan sumber dari segala sumber nilai. Sebagai sebuah ajaran, dan bukan sistem nilai, nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam akan merasuk dalam hati dan pikiran untuk mendorong pemeluknya membangun sistem nilai sendiri, termasuk dalam kehidupan berkeluarga.
KESIMPULAN
KDRT dalam perspektif sosiologis merupakan fakta sosial yang bersifat lintas etnik, kepercayaan, dan kawasan yang dapat dijumpai di masyarakat dari berbagai golongan, status dan lapisan sosial hampir disemua tempat. Sebagai sebuah tindakan antisosial dan anti kemanusiaan, KDRT dapat terjadi secara tiba-tiba dan terencana oleh dan terhadap semua aktor atau anggota dalam suatu rumah tangga yang bertindak sebagai pelaku maupun korban. KDRT dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia tergolong sebuah kejahatan dengan ancaman hukum pidana karena mengakibatkan kesakitan dan penderitaan fisik maupun mental terhadap korbannya.
Pada dimensi yang lebih luas, tindak KDRT merupakan pelanggaran serius terhadap harkat dan martabat manusia sesuai prinsip-prinsip dasar dalam hak asasi manusia (HAM).
Pada awalnya, KDRT merupakan persoalan privasi suatu keluarga yang bersifat tertutup dan jauh dari jangkauan perhatian dan intervensi pihak lain, termasuk pemerintah. Bentuk tindak KDRT sungguh beragam dari yang paling ringan hingga ke yang paling ekstrim sampai menyebabkan cacat fisik tetap bagi korban bahan kematian. Perkembangannya yang kian meluas di masyarakat dengan akibat yang tak terperikan membuat perkara ini mulai terkuak dan mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari masyarakat sekitar, pemerintah, dan dunia internasional.
Tindak KDRT dalam berbagai bentuk dan kasus terjadi karena dominasi dan penggunaan kekuasaan yang berlebihan oleh pelaku. Namun demikian, sejumlah faktor internal pada pribadi aktor-aktor pelaku dalam rumah tangga, dan faktor-faktor eksternal yang berpusat pada sistem nilai budaya lokal dan perubahan sosial yang berlangsung cepat , turut berperan sebagai penyebab dan pemicunya.
Perluasan tindak KDRT di masyarakat tidak patut dibiarkan berkembang terus tanpa kendali. Berbagai usaha dan cara mesti dilakukan oleh semua pihak sebagai wujud pekedulian terhadap persoalan sosial bersama, terutama oleh mereka yang terkait lansung dengannya sebagai pelaku dan korban.
Semua langkah menuju ke arah penghapusan tindak KDRT itu dapat dimulai dari usaha-usaha untuk memutus mata rantai penyebab dan pemicunya melalui penguatan jaringan sosial, pemahaman kembali nilai-nilai positif yang terdapat dalam kearifan budaya lokal (local wisdom), dan penguatan fondasi dan struktur bangunan ekonomi keluarga melalui inovasi dan kreasi baru. Mengatasi semuanya itu adalah menjadikan ajaran agama sebagai sumber nilai yang utama melalui langkah-langkah pendalaman dan pelaksanaan ajaran-ajarannya, khususnya ajaran tentang tata cara ideal hidup berkeluarga.