SIMALUNGUN (mimbarsumut.com) – Acara Ramadhan Treasure Hunt yang rencananya digelar selama tiga hari di Lapangan PDAM Tirta Lihou, Jalan Medan KM.10, Kelurahan Sinaksak, Kecamatan Tapian Dolok, Kabupaten Simalungun, menuai kontroversi.
Acara yang seharusnya menjadi ajang hiburan dan edukasi ini justru mendapat sorotan tajam berbagai kalangan karena dianggap melecehkan budaya Simalungun. Hal ini terkait dengan penggunaan gambar rumah adat yang tidak sesuai dengan arsitektur asli Simalungun pada backdrop panggung dan flyer acara.
Salah seorang pengamat budaya sekaligus pencinta adat Simalungun, Sahdison Saragih mengungkapkan kekecewaannya terhadap desain visual yang ditampilkan dalam acara tersebut. Ia menilai bahwa gambar rumah adat yang dipasang tidak mencerminkan rumah adat Simalungun yang sebenarnya. “Ini namanya pelecehan, selain posisinya miring, juga ornamen-ornamen yang ditampilkan tidak tepat, misalnya tidak ada kepala kerbau. Saya lihat ini tidak jelas, Simalungun bukan, Toba juga bukan,” ungkapnya marah Jumat (21/3/2025), saat dihubungi via seluler.
Selain desain rumah adat yang keliru, acara ini juga menggunakan logo Kabupaten Simalungun serta menampilkan gambar Bupati dan Wakil Bupati Simalungun di backdrop panggung. Hal ini menimbulkan polemik di kalangan masyarakat adat, yang menilai penggunaan elemen-elemen tersebut seharusnya dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan penghormatan terhadap budaya setempat.
“Harusnya kalau tidak paham, mengundang atau bertanya kepada ahlinya. Kalau sudah begini, kami anggap ini pelecehan dan bisa menimbulkan musibah jika rumah adat dipermainkan,” tegas Sahdison Saragih.
Dalam adat Simalungun, rumah adat memiliki makna filosofis yang dalam dan setiap bagiannya memiliki arti tersendiri. Misalnya, keberadaan kepala kerbau di bagian atap rumah adat menandakan keberanian dan kejayaan. Selain itu, bentuk dan susunan ornamen rumah adat Simalungun berbeda dengan rumah adat Toba. Kesalahan dalam merepresentasikan rumah adat bisa dianggap sebagai bentuk ketidakhormatan terhadap warisan budaya yang sudah turun-temurun dijaga oleh masyarakat Simalungun.
“Ok, Bang, dalam mengambil atau mencontoh rumah adat ataupun tentang jati diri peradaban bangsa Simalungun, jangan dari Google, tetapi langsung pada keturunan Suku Simalungun, ahlinya atau tokohnya. Ok,” tambah Sahdison.
Menanggapi polemik ini, panitia penyelenggara belum memberikan pernyataan resmi terkait kritik yang muncul.
Namun, sejumlah warga dan tokoh adat mendesak agar pihak penyelenggara segera memberikan klarifikasi dan, jika perlu, melakukan revisi terhadap materi visual yang digunakan dalam acara tersebut. “Jangan sampai acara ini malah menimbulkan keresahan. Jika ada kesalahan, lebih baik segera diperbaiki agar tidak menyinggung masyarakat adat Simalungun,” kata seorang warga setempat mengomentari.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanda-tanda perubahan atau permintaan maaf dari pihak penyelenggara. Masyarakat adat Simalungun berharap kejadian ini menjadi pelajaran bagi pihak mana pun yang ingin menggelar acara di wilayah Simalungun agar lebih menghormati dan memahami adat serta budaya setempat.
Laporan : anton garingging