Hal ini dikatakannya saat membacakan nota pembelaan (pleidoi) di persidangannya yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jalan Ampera Raya, Senin (17/12/2018). Pleidoi tersebut diberi judul ‘Indonesia di persimpangan menuju negara yang para penista agama, dan negara para persekutor demokrasi’.
Dalam pembelaannya, awalnya Dhani mengatakan cuitannya di twitter mengenai penista agama bukanlah suatu ujaran kebencian, melainkan hanya pernyataan pendapatnya yang kemudian di publikasikan ke umum. Dia juga menilai pernyataan pendapat itu dilindungi oleg UUD 1945.
“Majelis hakim yang terhormat, tweet ‘siapa saja yang membela penista agama adalah bajingan yang patut diludahi mukanya’ bukanlah suatu ujaran kebencian. Itu adalah suatu perlawanan, itu adalah pernyataan pendapat di muka umum dan menyatakan pendapat di muka umun itu dilindungi oleh UUD 45,” kata Dhani saat membacakan pleidoi.
Kemudian dia menyinggung kasus hukum yang sedang dijalaninya ini dipolitisasi oleh beberapa oknum. Sebab, dia menilai jaksa penuntut umum tidak bisa membuktikan poin-poin yang menjelaskan Dhani melakukan suatu ujaran kebencian.
“Kepada mejelis hakim yang terhormat, kasus ini adalah kasus politik murni, bukan kasus hukum murni, buktinya JPU pun nggak bisa membuktikan satu suku mana yang saya hina, kedua agama mana yang saya nistakan, ketiga RAS mana yang saya lecehkan, keempat keturunan mana yang saya hina? tidak ada,” ujarnya.
Lalu dia pun mengaku kecurigaannya selama ini benar mengenai kasusnya yang dipolitisasi oleh beberapa oknum. Dhani pun kemudian menyebut dugaannya diperkuat dengan pengakuan salah satu penyidik dan jaksa.
“Dugaan saya ini adalah kasus politik, diperkuat oleh pertama, salah satu polisi dalam perkara ini meminta maaf kepada saya, polisi tersebut menyatakan bahwa dia hanya melaksanakan tugas dari atasan. Kedua, begitu pun dengan salah satu jaksa. ketika saya dihadapkan pertama kali di kejaksaan negeri pada tahap 2, beliau meminta maaf dan mengakui bahwa ini hanya politik,” ungkapnya.
Selain penyidik polisi dan jaksa, dia juga menyebut ada ahli ITE dari Menkominfo juga menyebut hal serupa, bahwa kasusnya ini dipolitisasi.
“Salah satu dari 3 orang perumus UU ITE, dia berpendapat bahwa selama tidak ada subjek hukum yang jelas maka tidak ada kasus hukum, itu isyarat dari UU ITE. Sayangnya ahli hukum ITE ini tidak diberi izin oleh Kemenkominfo, karena kami sudah memberikan surat permohonan untuk dihadirkan sebagai saksi di pengadilan negeri Jakarta dan Menkominfo tidak memberikan izinnya untuk hadir tanpa ada alasan yang jelas. ini yang saya duga juga politis,” tutup dia. (dct)