JAKARTA (MS) ‐ Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan pemerintah masih mengkaji besaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan tanpa sistem kelas. Rencananya, penghapusan kelas diterapkan mulai tahun depan.
Anggota DJSN Muttaqin mengungkapkan aspek yang diperhitungkan juga tak lepas dari prinsip kesesuaian iuran dengan kemampuan masyarakat serta tetap mendorong keberlanjutan dan kualitas Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Pemerintah berniat untuk terus memperbaiki ekosistem JKN. Sehingga nanti akan dibuat skenario-skenario iuran. Sekarang belum bisa disampaikan besarannya karena masih tahap kajian untuk salah satu materi finalisasi Naskah Akademik Kelas Rawat Inap JKN,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Minggu (20/9).
Ia juga belum bisa mengira-ngira berapa iuran yang akan ditetapkan. Sebab, secara proses, besaran iuran baru bisa final setelah manfaat medis berupa kebijakan Kebutuhan Dasar Kesehatan (KDK) dan manfaat nonmedis berupa akomodasi kelas rawat inap JKN selesai dibahas.
“Kebijakan terkait KDK serta manfaat medis yang diterima peserta juga masih difinalisasi oleh internal Pemerintah. Kalau nanti kesepakatan ada perubahan kebijakan yang berarti terkait KDK tentu akan menjadi salah satu faktor perhitungan iuran. Jadi belum bisa dibuat dengan perkiraan,” tuturnya.
Tidak Dipukul Rata
Di samping itu, Muttaqin juga menuturkan pada dasarnya tarif tak bisa dipukul rata meski seluruh kelas digabung menjadi kelas standar. Pasalnya, penentuan tarif INA CBGs atau pembayaran dengan sistem paket akan melihat beberapa hal seperti seperti 11 kriteria kelas standar yang akan disepakati, termasuk kelas Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Non PBI.
Di samping itu, tarif untuk rumah sakit pemerintah dan swasta juga tidak bisa disamakan. “Tarif biaya medis (terkait dengan biaya yang sama sepanjang clinical pathway dan PNPK sama), tarif biaya akomodasi, faktor untuk pengaturan rujukan, dan tetap perlu juga adanya regionalisasi tarif,” imbuhnya.
Oleh karena itu, nantinya, tarif kelas A (PBI) dan Kelas B (non PBI), misalnya, akan tetap berbeda meski tak terlalu jauh, yakni pada komponen biaya non medis saja.
“Kira-kira hal itu akan menjadi salah satu yang menjadi perhatian ketika penentuan tarif. Karena itu lah, Apabila dibuat menjadi kelas 2, misalnya, bagaimana kemampuan membayar peserta PBPU kelas 3 selama ini ? Tentu perlu analisis kemampuan membayar peserta untuk ini,” jelasnya.
Ia mengingatkan salah satu hal yang penting dalam sistem asuransi sosial adalah membangun semangat gotong royong antar peserta, salah satunya dalam pembayaran iuran.
Dalam Pasal 19 UU SJSN menyatakan Jaminan Kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Dalam hal ini, prinsip ekuitas ini berarti kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkan.
Jika mengacu Pasal 38 Perpres 64 tahun 2020 tentang Jaminan Kesehatan, ujar Muttaqin, disebutkan bahwa besaran iuran ditinjau paling lama 2 tahun sekali dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum.
Selain itu, penetapan iuran dilakukan sekurang-kurangnya dengan memperhatikan inflasi, biaya kebutuhan Jaminan Kesehatan, dan kemampuan bayaran iuran. Selanjutnya dalam ayat (2) pasal yang sama, disebutkan bahwa besaran iuran akan diusulkan oleh Ketua DJSN kepada Presiden dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan.(CNN Indonesia).