Blackpink dan Pelajaran Moral Kita Hari Ini

Blackpink (Foto: dct)
JAKARTA (MS) – Mulai dari petisi yang dibuat oleh seorang bernama Maimon Herawati, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya membuat sebuah keputusan. Sebanyak 11 stasiun televisi terkena surat peringatan. Bahwa iklan Blackpink yang digawangi oleh sebuah online shop mesti dihentikan. 
Bila hal tersebut didasari dengan alasan tak bermoral dan kurang sopan, keyakinan kita perlu dipertanyakan. Jangan sampai kita memegang satu keyakinan lain dan menyerang keyakinan orang lain tanpa batas. Sekiranya, para perempuan yang memilih untuk menggunakan kostum seperti iklan tersebut tetap merasa aman. Tanpa harus dikaitkan dengan moral dan kesopanan bangsa. Seberapa besar dasar moral dan kesopanan yang sebenarnya kita miliki?

Dari kejadian ini, hal yang digarisbawahi adalah kekhawatiran atas rusaknya moral karena cara berpakaian. Seberapa jauh kita memahami moral? Apakah moral itu dapat dikendalikan oleh otoritas luar atau bersumber dari prinsip dalam diri individu? Apakah jika seseorang sedang berbelanja di mall mengenakan pakaian minim, maka moral saya akan rusak? Ataukah, itu tergantung dari kemampuan dan perkembangan olah pikir saya sebagai manusia?

Seorang peneliti moral Lawrence Kohlberg menemukan bahwa ada saat ketika manusia melakukan hal baik hanya karena ketakutan akan hukuman dan tidak ingin melakukan pelanggaran. Ada juga saat ketika tingkatan menjadi lebih baik, yakni memahami bahwa terdapat nilai-nilai dalam hidup ini dan hal itu penting untuk dimaknai, diinternalisasikan di dalam diri, namun bisa jadi nilai-nilai itu masih berdasar norma kelompok yang diyakini, menerima segala nilai dan menganutnya tanpa melakukan penelusuran jauh dengan pertanyaan-pertanyaan dan pertimbangan-pertimbangan.

Dan, yang paling tinggi, yang menurut Kohlberg sendiri sangat sulit untuk dicapai manusia pada umumnya, adalah ketika manusia telah mencapai tahap mampu memaknai prinsip-prinsip universal. Tidak ada lagi sekat dan batas selain nilai luhur seperti hak asasi manusia, keadilan, dan kesetaraan.

Mengenai pakaian, mungkin ada baiknya kita melihat pameran yang bertajuk What Were You Wearing?, di mana pakaian-pakaian para korban pemerkosaan dipajang dan menunjukkan bahwa para korban tidak memakai pakaian minim seperti yang selalu diduga. Seragam kerja, baju anak kecil, dan celana panjang adalah beberapa contoh pakaian yang dipamerkan. Sebuah program untuk mengubah strereotip tersebut, karena seringkali jika tindakan asusila terjadi, pertanyaan yang dilayangkan adalah “kamu memakai baju apa?”, pertanyaan yang sangat tidak relevan untuk mencari celah kesalahan para korban.

Program tersebut telah diadopsi di beberapa negara Eropa dan menyebar hingga Asia. Ini memperlihatkan bahwa pakaian bukan menjadi sumber dari terjadinya pelecehan, melainkan dari cara pandang pihak laki-laki yang rentan. Lagi pula, hal penting yang bisa kita temukan dari peristiwa ini adalah kebiasaan menyudutkan tubuh perempuan. Sedangkan, pihak laki-laki berada pada posisi yang mesti dibela, tanpa ada usaha menjaga pikiran tetap jernih.

Sudah jadi hal lumrah bila seorang laki-laki tersulut nafsu birahinya lalu tak mampu menahan diri, perempuan sering disalahkan lantaran berbagai alasan dan tanggapan. “Makanya jangan jalan sendiri!” Atau, “Kalau berpakaian yang sopan dong!” Atau, “Eh, cara jalan kamu kok seperti itu sih?”

Semua itu juga terbentuk dari budaya kita yang sulit menyadari bahwa terjadinya hal seperti itu bukan semata-mata hanya akibat satu pihak. Bagaimana jika laki-laki itu memang sulit mengendalikan diri? Tanggapan seperti ini kemudian akan berdampak pada kasus pelecehan perempuan yang tetap saja semakin parah. Seringkali perempuan selaku korban harus merasakan pedih yang berlipat ganda setelah laporan tak diperhatikan atau diabaikan begitu saja.

Hal seperti pakaian seksi menjadi penyebab pemerkosaan sekiranya sudah patut diyakini sebagai mitos belaka. Celakanya, otoritas perempuan terhadap tubuhnya kemudian menjadi terperangkap pada stereotip yang berkembang. Laki-laki pun tak dididik dengan baik dalam memandang perempuan. Pernyataan seperti, “Namanya juga laki-laki!” sering kali terdengar, sekaligus menjadi bukti kecil bahwa pihak laki-laki tak menaruh perhatian besar dalam masalah ini.

Di lingkungan keluarga sendiri, anak perempuan dituntut lebih keras untuk menjaga perilaku dan pakaian, dibandingkan mengajarkan anak laki-laki untuk memandang perempuan dengan cara yang sewajarnya. Penting untuk menghargai keputusan tiap orang dalam berpakaian. Otoritas terhadap tubuh ada pada keyakinan masing-masing. Sekali lagi, titik pijak keyakinan seseorang berbeda-beda namun mementingkan keyakinan demi menyelamatkan keyakinan sepihak bukanlah hal yang bijak.

Jika Blackpink menjadi kambing hitam, itu sama saja kita tak belajar untuk membangun cara berpikir serta bertindak dengan lebih baik. Bila berbicara tentang moral, kita bisa melihat teori perkembangan moral dari Lawrence Kohlberg. Salah satu temuan menarik dari risetnya yang berlangsung selama beberapa tahun adalah fakta bahwa sulit sekali untuk mencapai tingkat perkembangan moral yang tertinggi. Yakni, tingkat ketiga yang disebut sebagai post-konvensional. Tahap yang mengedepankan kesadaran atas aturan atau hukum yang terbentuk demi kemaslahatan orang banyak, meskipun pada situasi tertentu akan buruk untuk kepentingan individu secara khusus.

Dan, yang tersulit adalah menemukan pedoman prinsip sendiri yang mampu melawan aturan atau sesuatu yang sebelumnya berlaku. Prinsip atas keadilan, hak asasi manusia, dan kesetaraan membutuhkan cara pandang di tahapan ini. Pada kasus Blackpink, dapat dilihat sejauh mana kita atau orang-orang di sekitar kita memahami moral itu sendiri. (dct)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed