BANGKALAN (mimbarsumut.com) – Beredarnya pemberitaan sebagaimana dimuat pada Media Online, Kamis 13 April 2023, bahwa salah satu calon kepala desa di Desa Rosep Kecamatan Blega Kabupaten Bangkalan – Nawar yang terlibat dalam menyalurkan bantuan sosial berupa beras kepada warga, telah memunculkan beragam polemik di masyarakat.
Menurut nara sumber melalui Teleconfren menghubungi awak media via WA, dari penjelasannya, ia membagikan dua jenis bantuan sembako untuk disalurkan kepada masyarakat diantaranya dari anggota DPR-RI Said Abdullah sebanyak 750 paket sembako serta sebanyak 444 paket dari pihak Bulog.
Pernyataan berkaitan dengan bahwa ia turut membagikan sejumlah 444 paket yang dari Bulog tersebut yang menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan di benak publik. Bagaimana mungkin seorang calon kepala desa yang ikut berkontestasi dalam pemilihan kepala desa 10 Mei 2023 mendatang memiliki akses kemudahan untuk dapat mendistribusikan beras bansos kepada masyarakat ?.
Apakah pihak penyalur dalam hal ini PT. POS Kecamatan Blega tidak mempunyai kepekaan yang tinggi bahwa dengan keterlibatan calon tersebut dalam mendistribusikan beras bansos diyakini tidak akan mempengaruhi cara pandang akan pilihan masyarakat yang rata-rata awam dalam pilkades mendatang karena menganggap ada sosok sinterklas yang mau mengulurkan tangan dan meringankan bebannya dalam menghadapi lebaran ?.
Adakah kesalahan prosedur yang dilakukan oleh pejabat pemerintah desa setempat berkenaan dengan mekanisme penyaluran / pendistribusian beras bansos tersebut ?.
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini mestinya disikapi secara serius oleh pihak berwenang agar bansos beras tidak diidentikkan dengan instrumen politik Pilkades.
PT. POS Kecamatan Blega selaku pemegang otoritas dalam penyaluran beras bansos melalui stafnya – Lailatus menjelaskan bahwa dibeberapa desa di wilayah Kecamatan Blega memang telah terjalin hubungan kerjasama dengan pihak ketiga sebagai komunitas penyaluran beras bansos, salah satu diantaranya adalah dengan Pemerintah Desa Rosep.
Dan ketika ditanyakan oleh tim media GIN mengapa titik distribusinya tidak dilaksanakan di balai desa dan justru dilaksanakan di Lingkungan Gedung PAUD yang notabene berdekatan dengan Rumah salah satu calon kepala desa tersebut ?,
Staf kantor PT. POS tersebut beralasan karena kondisi pengirimannya dilaksanakan jam 23.00 WIB atau tengah malam sementara akses jalan untuk menuju balai desa tersebut terdapat tikungan jalan tajam sehingga armada kesulitan untuk sampai ke lokasi.
Alasan lainnya adalah bahwa saat itu di balai desa sedang terselenggara rapat sehingga tidak ingin terganggu oleh proses bongkar penurunan barang / beras dimaksud.
Dari penjelasan tersebut justru memunculkan penilaian akan buruknya tata kelola & manajemen koordinasi penyaluran beras bansos yang dilaksanakan oleh Kantor PT. POS Kecamatan Blega khususnya di Desa Rosep.
Persoalan ini malah juga dan menimbulkan beragam pertanyaan diantaranya apakah sebelum kerjasama itu dilakukan antara PT. POS Kecamatan Blega dengan Pemerintah Desa Rosep tidak dilakukan survey lokasi dengan melihat laik tidaknya akses jalan menuju balai desa sebagai titik distribusi & titik bagi agar bisa dijangkau oleh armada angkutan pengiriman beras bansos?.
Pertanyaan kedua adalah apakah sebelumnya tidak dilaksanakan koordinasi terkait jadwal pengirimannya dengan pemerintah desa setempat sehingga jadwal pengiriman barang / beras bansos tidak berbenturan apalagi sampai menggangu agenda rapat yang diselenggarakan di balai desa tersebut ?.
Pertanyaan ketiga, apakah PT. POS Kecamatan Blega mampu memberikan garansi bahwa penyaluran tersebut akan sampai ke tangan kelompok penerima manfaat / KPM serta terpenuhi ketentuan-ketentuan lainnya sebagaimana yang tertuang dalam Pepres Nomor 63 Tahun 2017 Tentang Penyaluran Bantuan Sosial secara Non Tunai serta Permensos RI Nomor 01 Tahun 2019 tentang Penyaluran Belanja Bantuan Sosial di Lingkungan Kementerian Sosial serta tidak terkontaminsai dengan kepentingan politik pilkades?
Untuk menjawab hal ini semestinya pemerintah melalui APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) ataupun tim pengawasan lainnya melakukan investigasi guna mendalami bagaimana yang terjadi dengan penyaluran beras bansos di Desa Rosep.
Sejatinya dalam penyaluran beras bansos ada tanggungjawab melekat kepada institusi penyalur karena dalam ketentuannya mengharuskan untuk sampai ke tangan penerima, ada mekanisme evaluasi & verifikasi serta pengelolaan data sebagai rumusan bahan pelaporan kegiatan.
Langkah investigasi ini sangat diperlukan karena ada beberapa keluarga penerima manfaat / KPM yang menurut informasi di lapangan tidak menerima bantuan beras tersebut meskipun di status web.kemensos tertera “YA” dan keterangan BPNT Periode Maret – April 2023 menjelaskan “Proses Bank Himbara / PT. POS” ataupun sebagai pengurus / peserta Program PKH.
Atau apakah memang ada kriteria tertentu meski KPM dimaksud sebagai penerima program PKH / BPNT namun ada syarat tertentu yang tidak dipenuhi sehingga yang bersangkutan mengharuskan tidak memperoleh jatah pembagian beras bansos dimaksud ?
Hal-hal seperti inilah yang mestinya juga digali oleh institusi berwenang sehingga program mulia dari pemerintah pusat guna meringankan beban masyarakat miskin di daerah mampu diemban sebagai amanah untuk dilaksanakan sebaik-baiknya oleh petugas / penyalur setempat serta tidak memberikan ruang kepada siapapun untuk menunggangi dalam rangka kepentingan politik apapun.
Sejatinya, perhelatan pilkades di desa Rosep ini oleh beberapa komunitas warga akan dijadikan momentum untuk menjaga marwah demokrasi yang sebenarnya diantaranya dengan menghindarkan sejauh mungkin praktek-praktek yang menjurus bau-bau praktek money-politik.
Keinginan tersebut selain berupaya mengedukasi masyarakat lainnya agar sedapat mungkin menghindari hal-hal negatif dengan menggadaikan ideologi politiknya melalui praktek politik uang juga karena kebetulan salah satu figur calon lainnya yang berasal dari unsur TNI yang tentunya patuh & teguh dalam memandang sebuah aturan & etika.
Namun harapan untuk pilkades di Desa Rosep terbebas dari politik transaksional semacam ini sepertinya hanyalah akan menjadi angan semata karena pasca penyerahan bansos tersebut pola pikir masyarakat yang tadinya mulai sadar & memahami akan dampak negatif politik uang dalam pilkades mulai bergeser ke pola pikir sebelumnya.
Sistem pemerintahan kedepan yang akan memfokuskan pada manajemen pemerintahan desa yang terbuka dengan memposisikan sebagai masyarakat sebagai pengendali pemerintahan yang sebenarnya seketika mulai tereduksi dengan model politik transaksional seiring dengan mengalir derasnya politik uang yang dikemas dengan istilah shodaqoh, bantuan sarung ataupun bentuk bantuan lainnya.
Jika pola pikir masyarakat sudah seperti ini, siapa yang harus bertanggungjawab ? (***)