Pasal Pendidikan di Omnibus Law Yang Dinilai Membingungkan

JAKARTA (MS) ‐ DPR didesak menjelaskan alasan sektor pendidikan masih masuk ke dalam omnibus law UU Cipta Kerja (Ciptaker) yang sudah disahkan dalam rapat paripurna, Senin (5/10) petang. Padahal, klaster pendidikan dan kebudayaan sebelumnya dijanjikan pemerintah dan DPR dihapus, karena dinilai bertentangan dengan esensi pendidikan.

Namun, saat draf final UU Cipta Kerja beredar tak lama setelah diketok pada petang tersebut, pasal pendidikan masih tertulis nyata pada Paragraf ke 12. Hal tersebut pun membuat praktisi dan pemerhati pendidikan kebingungan.

“Masih bertahannya pasal yang akan menjadi payung hukum kapitalisasi pendidikan di atas, menjadi bukti bahwa anggota DPR sedang melakukan prank terhadap dunia pendidikan termasuk pegiat pendidikan,” ujar Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru Satriwan Salim dalam keterangannya.

Sedangkan Perkumpulan Keluarga Besar Tamansiswa mengancam akan membawa UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi untuk diajukan uji materi atau judicial review.

“Saya baru tahu tadi malam (Senin, 5/10), bahwa masih ada pasal yang terkait dengan pendidikan. Ini di luar dugaan kita juga sebenarnya,” ujar Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda.

Bukan hanya dari kalangan praktisi pendidikan, di kalangan DPR pun terjadi kebingungan mengenai masuknya pasal pendidikan dalam omnibus law UU Ciptaker yang sebelumnya sudah disepakati untuk dihapus.

Aturan terkait pendidikan yang diatur pada Paragraf 12 sendiri hanya satu, yakni pada Pasal 65 paragraf 12. Yang diatur terkait perizinan pada sektor pendidikan yang dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha.

‘Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini,’ tulis ayat (1) pada pasal dalam draf Omnibus Law Ciptaker yang telah disahkan jadi undang-undang tersebut.

‘Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah,’ lanjut ayat (2).

Sementara itu, Pasal 1 UU Cipta Kerja menjelaskan Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.

Pemerhati pendidikan dari Tamansiswa, Darmaningtyas, mengaku ada kekhawatiran dari penggunaan Perizinan Berusaha itu bakal memungkinkan komersialisasi pendidikan.

“UU Cipta Kerja itu bunyinya dapat melalui izin berusaha. Tapi itu sama saja. Sama saja membolehkan pendidikan itu dijadikan sebagai komoditas perdagangan,” kata dia.

‘Syarat-syarat untuk memperoleh izin meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidikan dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan,’ demikian tertulis pada ayat (1) pasal 62 UU Sisdiknas tersebut.

Mengacu pada UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), untuk mendirikan pendidikan formal dan nonformal dibutuhkan izin dari pemerintah pusat atau daerah.

Kemudian, pada Pasal 62 menyebut untuk mendapat izin, pendiri harus memenuhi beberapa syarat.

Jika ketentuan ini dilanggar, pendiri dapat dikenakan sanksi pidana dengan penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.

Klaster Pendidikan pada Draf RUU Omnibus Law Ciptaker Sebelum Disahkan
Untuk diketahui, klaster pendidikan pada draf RUU Cipta Kerja sebelum dibahas di tingkat Badan Legislasi sebetulnya mengatur lebih banyak pasal dan poin.

Berdasarkan catatan CNNIndonesia.com pada 27 Februari lalu terdapat beberapa pasal yang mengubah UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, dan UU Sisdiknas.

Perubahan pada Pasal 8 dan Pasal 45 UU Nomor 14 Tahun 2005 memungkinkan instansi pendidikan tidak mewajibkan guru dan dosen dari negara lain memiliki sertifikat pendidikan jika ingin mengajar di Indonesia. Namun masih diwajibkan bagi guru dan dosen dari dalam negeri.

‘Sertifikat pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dimiliki oleh guru yang berasal dari lulusan perguruan tinggi lembaga negara lain yang terakreditasi,’ tulis Pasal 8 ayat (2) pada draf RUU omnibus law kala itu.

Pada aturan sebelumnya seluruh guru dan dosen wajib memiliki sertifikat pendidik, kompetensi, kualifikasi akademik, serta sehat jasmani dan rohani.

Draf RUU omnibus law juga sempat berwacana menghapus kewajiban kampus asing memprioritaskan dosen dan tenaga pendidik asal Indonesia. Itu mengubah pasal pada UU Dikti

Selanjutnya omnibus law Ciptaker menghapus ketentuan pidana untuk setiap orang yang melakukan pemalsuan atau penipuan ijazah, sertifikat kompetensi, maupun gelar akademik.

Ini sebelumnya diatur pada Pasal 67 ayat (1) UU Sisdiknas, di mana tiap orang, organisasi atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik tanpa hak, akan dipidana penjara maksimal 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.

Dalam proses legislasi ini, draf omnibus law Ciptaker dibahas bersama di tingkat panja baleg bersama pemerintah. Pada pembicaraan tingkat I tersebut, lalu pada 3 Oktober 2020 disepakati untuk dibicarakan pengesahannya di tingkat paripurna DPR yang direncanakan digelar 8 Oktober 2020.

Namun, pada awal pekan ini, tiba-tiba ada perubahan di DPR yang memutuskan melaksanakan rapat paripurna pengesahan omnibus law Ciptaker pada Senin (5/10) petang. Dan, pada gelaran paripurna itu draf RUU tersebut pun disahkan jadi undang-undang. (CNN Indonesia).

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed