LANGKAT (MS) – Rasa prihatin bercampur kesal bersemayam dihati. Bagaimana tidak, tindakan asusila terhadap anak terus terjadi di Langkat, Kabupaten yang dikenal sebagai Kabupaten Relijius dan Bermartabat. Baik anak sebagai korban maupun anak sebagai pelaku dan korban.
Hal itu disampaikan Sekretaris Kompak Langkat Hidayat Syahputra, di Stabat, Senin, sambil menambahkan memang dirasa sangatlah pantas jika status Kabupaten/Kota Percepatan Layak Anak bagi Langkat dicabut.
Karena sepertinya untuk mencapai predikat KLA (Kota Lanyak Anak ) itu bagaikan mimpi yang tak akan kesampaian. Hal ini bukanlah sebuah frase psimistis namun sebuat frase yang terbangun dari kondisi yang terjadi di Kabupaten Langkat. Cita-cita yang tak sebanding dengan upaya.
Masih tingginya angka tindakkan kekerasan dan pelececahan seksual pada anak di Langkat membuktikan ketidak seriusan Pemerintah Daerah dalam upaya Percepatan Kota Layak Anak menuju Kabupaten Layak Anak atau lebih dari itu bukti ketidak mampuan Pemerintah Kabupaten Langkat dalam menjamin keamanan terhadap anak di Langkat.
Semakin miris terasa, melihat kenyataan bahwa tindakan kejahatan seksual/pencabulan pada anak tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang awam, namun juga dilakukan oleh pejabat Desa dan orang yang diharapkan mampu mendidik untuk mencerdaskan anak.
Seperti tidakan kejahatan seorang Kepala Desa, Kepala Desa Harapan Maju Kecamatan Sei Lepan dan juga Guru SD Negeri Dusun V Kampung Baru Pangkalan Siata Kecamatan Pangkalan Susu dan bahkan kasus pencabulan yang diduga dilakukan oleh oknum Kepala Sekolah SD Negeri di Buluh Telang, Dusun Sido Bangun, Desa Tanjung Selamat, Kecamatan Padang Tualang.
“Malah mungkin masih banyak lagi kasus pencabulan anak di Langkat yang belum atau tidak terungkap kepermukaan,” katanya.
Lantas bagaimana dengan Visi-Misi Kabupaten Langkat yang religius itu, atau itu hanya lembaran tanpa makna, sebagai pelangkap pemenuhan persyaratan ketika mencalokan sebagai Bupati dan Wakil Bupati.
Kita belum melihat uapaya mewujudkan visi-misi tersebut itu berjalan dengan maksimal dengan sepenuh hati. Bagaimana mungkin kita berteriak-teriak mengatakan Kabupaten Langkat, Kabupaten yang religius.
Sementara tindak asusila pada anak anak terus terjadi, di Langkat, dimana keamananan bagi anak-anak Langkat diragukan, setiap saat bisa mendapatkan perlakuan kekerasan dan pelecehan seksual. Begitu ambigu terasa.
Sampai kapan kondisi seperti ini terus kita biarkan tanpa ada suatu tindakan yang serius dari semua pihak, terutama pihak-pihak yang berwenang.
Apakah penyelesaian permasalahan ini hanya bertumpu pada tindakkan hukum tanpa ada upaya nyata dalam hal pencegahan. Tentunya tindakan penyelesaian hanyalah menyelesaikan persolanan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku saja.
Bagaimana dengan korban, yang notabenenya masih anak-anak berusia belasan tahun atau belum megenap berusia 10 tahun. Bagaimana goncangan kejiwaan yang mereka rasakan.
Bagaimana langkah mereka memperjuangkan masa depan mereka yang masih panjang. Atau kita ingin melihat cahaya-cahaya yang mati dari anak-anak Kabupaten Langkat. Atau semua ini akan terus kita biarkan sampai anak-anak kita yang menjadi korban-korban berikutnya.(Ant)