Oleh : Ilham Fauzi, SH.
(Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara)
Pada penghujung tahun 2018 beberapa pekan lalu, Kota Tanjungbalai genap berusia 398 tahun. Hampir empat abad lamanya kota ini masih eksis dan tumbuh sebagai salah satu kota multikultur di Indonesia.
Walaupun pada awal Desember kemarin kota ini dilabeli sebagai kota yang rendah toleransi (Setara Institute, 2018). Dalam perjalanan itu tentunya banyak hikmah sejarah yang dapat kita petik sebagai seorang individu dan komunitas di dalam sebuah kota yang bernama Tanjungbalai. Setiap zaman tentunya memiliki tantangan dan gaya penyelesaian yang khas dimana pemuda adalah aktor yang memiliki sumbangsih terbesar bagi eksistensi sebuah kota.
Kemajuan sebuah kota juga tidak lepas dari partisipasi aktif generasi produktifnya (golden age). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2020 diproyeksikan proporsi jumlah generasi milenial Indonesia akan mencapai 34 persen dari total penduduk. Di Indonesia sendiri, generasi ini akan terus bertambah jumlahnya sampai 2030 dan diperkirakan akan menjadi aktor kunci yang akan melejitkan Indonesia sebagai sebuah negara besar pada 2045.
Namun, proses kemajuan di abad ke-21 tentunya masih didominasi dan dirasakan oleh mayoritas penduduk yang bermukim di Pulau Jawa. Ketimpangan baik dari infrastruktur dan kualitas sumber daya manusia tak terbantahkan. Ini adalah tantangan yang harus dibuktikan oleh anak-anak milenial yang bermukim di luar Pulau Jawa khususnya Kota Tanjungbalai.
Artinya, wajah Indonesia ke depan ditentukan tidak hanya oleh generasi milenial di Pulau Jawa atau kota-kota besar lainnya, melainkan ditentukan juga oleh generasi yang lahir tahun 1981-2000 di Kota Tanjungbalai. Lantas, partisipasi dan manfaat apa yang bisa kita (generasi) ini berikan bagi Tanjungbalai?
Milenial Bergerak
Baru-baru ini, tidak ada satu kota ataupun kabupaten di Sumatera Utara yang mendapatkan predikat sebagai kota cerdas (smart city). Kota cerdas sendiri merupakan sebuah kota dimana pengintegrasian antara teknologi informasi dengan berbagai aktivitas masyarkat, yang mana kolaborasi dan penggunaan teknologi internet mampu menciptakan iklim kompetitif dan kecepatan bagi kota dan masyarakat (Kompas, 10/01/2019).
Ini seharusnya menjadi catatan penting bagi pemerintah daerah baik provinsi, kabupaten dan kota dan pemudanya. Ada enam pilar yang menggambarkan apakah sebuah kota dikatakan sebagai kota cerdas yakni lingkungan, mobilitas, pemerintahan, ekonomi, masyarakat, dan kualitas hidup.
Bobot terbesar dari enam elemen kota cerdas ada pada masyarakat, terutama dalam hal pendidikan, kreativitas, dan inklusivitas.
Tentunya tulisan ini tidak akan mengupas sampai ke bagian-bagian teknis. Ini adalah tugas kita (milenial Tanjungbalai) untuk menyusun agenda kemajuan bagi kota Tanjungbalai.
Sudah banyak contoh dan praktik sukses dimana kota cerdas tidak hanya digerakkan secara individualistik, melainkan secara kolektif dengan cara berkolaborasi antara pemerintah dan anak mudanya.
Bisakah kita memulainya? atau kita masih dalam tataran membayangkan ?. Anda-anda sekalian lah yang mampu membuktikan ini.
Bagi anak milenial yang saat ini sedang duduk di bangku perguruan tinggi dan menjadi salah seorang yang beruntung mengenyam pendidikan lanjutan pasca SMA pasti sudah sering mendapatkan petuah dari orang tua. “Carilah kerja di kota lain, jangan pulang ke Tanjung”, kata-kata tersebut jamak kita jumpai dan dapatkan dari orang tua.
Ini menggambarkan realitas bahwa kota Tanjungbalai tidak ramah pekerja, tidak ada sektor-sektor ekonomi produktif yang mampu memberikan penghidupan yang layak bagi masyarakatnya.
Masyarakat masih menganggap menjadi PNS adalah syarat untuk keluar dari perangkap dan jurang kemiskinan. Betulkah demikian?
Jawabannya tentu bisa tepat dan juga bisa sepenuhnya salah. Jika anak milenial masih berpikir untuk berlomba menjadi seorang PNS, tentunya membutuhkan usaha yang luar biasa untuk berkompetisi dengan alokasi posisi yang sangat sedikit. Bahkan perbandingannya bisa mencapai 1 : 100. Berangkat dari realitas di atas, seharunya anak milenial Tanjungbalai harus menemukan alternatif dan solusinya.
Jika kreativitas adalah kemutlakan yang harus dimiliki oleh sebuah kota cerdas. Ini tentunya bukan masalah bagi milenial. Berdasarkan hasil penelitian Alvara Research Center yang dikutip dalam buku Millenial Nusantara: Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya dijelaskan bahwa ada tiga karakter yang dimiliki oleh generasi milenial.
Konektivitas (connected) merupakan karakter pertama yang menggambarkan bahwa milenial adalah kelompok generasi yang mengupayakan dirinya terhubung, dalam arti bersosialisasi dengan teman atau orang lain, baik di dunia nyata maupun digital. Hal ini tentunya dibuktikan dengan massifnya penggunaan teknologi informasi baik internet dan gawai oleh millenials.
Karakter kedua adalah kreativitas, pemuda milenial digambarkan sebagai seorang yang kaya ide, mampu berpikir out of the box, dan multitasking dalam komunikasi. Karakter yang terakhir adalah confidence, yang menjelaskan bahwa milenial adalah sosok yang percaya diri dalam mengemukan pendapat.
Jika kita memahami ketiga karakter ini, bukanlah mustahil sebuah kota mampu tumbuh dan maju dikarenakan besarnya daya dorong dan partisipasi pemudanya. Terkhusus pemuda Kota Tanjungbalai.