Dinamika kepartaian di Indonesia semakin memunculkan eksistensinya dalam setiap aktifitas politik khususnya dalam setiap pelaksanaan Pemilu, selain Indonesia menganut system Multy Party, Indonesia juga merupakan suatu negara yang sedang mengalami masa perkembangan Demokrasi, hal itu terlihat setelah munculnya masa reformasi yang dilalui indonesia dari mulai berhentinya era orde baru pada tahun 1998, indonesia masih mengalami masa reformasi sampai sekarang.
Hal itu terbukti dimana banyaknya partai-partai politik yang berkembang di Indonesia dengan berbagai ideologinya, seperti dalam pemilihan langsung presiden pada tahun 2004, 2009, 2014 sampai dengan 2019 dengan system pemilu secara serentak Pemilihan Presiden berbarengan dengan Pemilihan DPRI/Provinsi/Kabupaten/Kota tercatat 14 partai politik yang lolos dalam peserta pemilu tahun 2019, Patai Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Garuda, Partai Berkarya, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Perindo, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Amanat Nasional, Partai Hanura dan Partai Demokrat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik pasal 1 ayat 1 menyebutkan Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam realita kehidupan berbangsa dan bernegara peran dan fungsi partai politk sangat mendominasi terhadap arah dan perubahan republik ini. Sebut saja DPR yang di dominasi keterwakilan melalui pemilu adalah dominan kesemuanya dari partai politik. Mempunyai fungsi yang sangat luas (legeslasi, anggaran dan pengawasan) dalam hal terhadap pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) yang diusulkan oleh presiden, menetapkan UU bersama dengan presiden, menyetujui atau tidak menyetujui peraturan pemerintah pengganti UU yang diajukan oleh presiden untuk ditetapkan menjadi UU, memberikan persetujuan atas RUU tentang APBN, dan melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN dan kebijakan pemerintah.
Dengan fungsi dan pengawasan yang begitu luas terkadang presiden sebagai kepala negara dan pemerintahan kelabakan dalam mengambil keputusan karena sangat mendominannya kepentingan partai politik. Kalau kita mengingat kebelakang, penguatan lembaga legislatif khususnya DPR pasca reformasi disebabkan oleh kuatnya pengaruh presiden yang memunculkan otoritarianiesme selama lebih dari 32 tahun. Namun, sayangnya, penguatan kelembagaan DPR pasca reformasi ini dilakukan hanya untuk kepentingan partai politik tertentu semata. Yang seharusnya sistem yang dianut oleh pemerintaha indonesia adalah sistem pemerintahan presidensial, yang menempatkan presiden sebagai lembaga dengan kelembagaan yang kuat, baik sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan yang akhirnya tidak jarang menemui jalan buntu antara presiden dan DPR dalam mengambil suatu keputusan terhadap berjalannya roda pemerintahan.
Keterlibatan DPR hampir keseluruhan semua kebijakan negara, model ini, hanya kerap menimbulkan jalan buntu berkepanjangan antara presiden dan DPR. Sehingga yang terpilih adalah siapa yang dianggap paling mampu bekerjasama dengan DPR saja melalui lobi-lobi politik di belakang layar. Sehingga dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana seharusnya keterlibatan peran politik hukum partai politik bersama pemerintahan untuk memajukan bangsa dan negara.
Politik Hukum
Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya yang berjudul Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan, yang dikatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum dan penegakannya sendiri.
Dapat diartikan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah peran besar pemerintah dengan keterlibatan DPR. yang pada nyatanya peran DPR terkadang melampaui kewenangan secara legal sebagaimana yang telah ditentukan. Bahkan ironisnya dalam pembentukan peraturan perundang-undang yang tejadi ada titipan-titipan pasal dari pihak ketiga dalam hal ini pihak swasta kepada DPR. Sehingga ada kejahatan yang sangat sistematis yang pada mulanya ambisi partai politik semata tidak kalah penting berubah menjadi ambisi cukong-cukong untuk memuluskan kejahatan yang dapat dilegalkan dalam peraturan perundang-undangan.
Perubahan konfigurasi politik dari otoriter ke demokratis atau sebaliknya akan berimplikasi kepada perubahan karakter produk hukum . tidak bisa diberlakukan secara mutlak, karena dalam kenyatannya tidak ada suatu negara pun yang konsfigurasi poltiknya sepenuhnya demokratis atau otoriter. Dan tidak ada satu negara pun yang memproduksi hukumnya dengan karakter yang mutlak responsive atau mutlak konservatif. Bahkan, di negara-negara dikualifikasi sebagai negara demokratis ada kalanya terjadi tindak-tindakan yang bersifat otoriter dan begitu sebaliknya di negara-negara otoriter kadang kala juga ditemui tindakan- tindakan demokratis.
Indikator yang digunkan utnuk mengindentifikasi konfigurasi politik demokratis atau otoriter adalah peranan partai politik dan lembaga perwakilan rakyat, kebebasan pers, serta peranan pemerintah (eksekutif). Dan untuk mengidentifikasi apakah produk hukum responsif atau ortodoks, maka indikator-indikator yang dipergunakan adalah proses pembuatannya, sifat dan fungsinya dan kemungkianan penafsirannya.
Maka dengan demikian dapat diperjelas kegiatan-kegiatan politik diatur dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum yang berlaku karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehedak poltik. Sehingga politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya sama dan seimbang. Walupun produk hukum merupakan keputusan politik wajib hukumnya, semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Maka momentum penyelenggaraan Pemilu serentak pada tanggal 17 April 2019 tidak boleh diaggap remeh oleh rakyat Indonesia. Karena awal dari ini, merupakan cerminan perubahan dan arah pembangunan Indonesia lima tahun yang akan mendatang. Maka dari sudut pandang manapun kita berargumentasi terhadap dinamika politik hukum partai politik yang rawan terhadap kompromi-kompromi dan lobi-lobi sehingga melahirkan nepotisme dan tindak pidana korupsi tidak akan pernah selesai kalau yang nantinya terpilih masih wajah-wajah lama yang tidak memberikan harapan baru untuk pembangunan Indonesia kearah yang baik.
Sehingga, tantangan terbesar ada pada rakyat Indonesia sendiri. Suatu keharusan tidak adanya lagi suara di perjual belikan (Money Politik). Harapannya adalah bagaimana rakyat Indonesia harus mampu memilih pilihannya sesuai dengan hati nurani dengan refrensi yang di pilih sesuai aspek kebenaran yang dimiliki rakyat itu sendiri. Sehingga wakil-wakil rakyat yang terpilih betul-betul mengedepankan kepentingan rakyat bukan kepentingan partai politik sesaat. Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan).
(Penulis : Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara)