Perlukah Telaah Dilakukan Atas Laporan Keuangan Pemda Dalam Pengelolaan Keuangan Negara ?

Ratama Saragih

TEBINGTINGGI (MS) – Ratama Saragih Walikota DPD LSM LIRA Tebingtinggi, Sabtu (8/8/2020) mengatakan bahwa defenisi telaah atas laporan keuangan pemerintah daerah berdasarkan Permendagri nomor 4 tahun 2008 adalah prosedur penelusuran angka – angka, permintaan keterangan, dan analitis yang harus menjadi dasar memadai bagi inspektorat untuk memberi keyakinan terbatas atas laporan keuangan bahwa tidak ada modifikasi material yang harus dilakukan atas laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut disajikan berdasarkan Sistim Pengendalian Intern (SPI) yang memadai dan sesuai dengan Standart Akuntansi Pemerintah (SAP).

Telaah yang dilakukan APIP sesungguhnya bertujuan untuk memberikan keyakinan terbatas atas laporan keuangan dalam rangka pernyataan tanggungjawab (statemen of responsibility) atas laporan keuangan tersebut.

Pernyataan tanggung jawab menyatakan bahwa laporan keuangan telaah disusun berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai.

Namun demikian, sistem pengendalian intern yang ditelaah dibatasi pada pengendalian yang berkaitan dengan penyusunan laporan keuangan.

Menurut Jejaring Ombudsman ini, mustahil seorang kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dapat meyakini sendiri bahwa semua transaksi keuangan tersebut telah dicatat dan disajikan secara benar sesuai dengan Standart Akuntansi Pemerintah tanpa dibantu oleh perangkatnya dalam hal ini Inspektorat.

Untuk lebih memberikan keyakinan kepada kepala daerah, diperlukan Inspektorat untuk melakukan telaah atas LKPD yang dimaksud.

LKPD yang disampaikan ke BPK tersebut akan dijadikan bahan/dokumen untuk dilakukan pemeriksaan LKPD, sehingga di hasilkan pendapat (opini) dari BPK sebagai Raport Kepala Daerah.

Persoalannya sekarang, bahwa masyarakat mengklaim jika telaah disamakan dengan audit, sehingga digenaralisasi bahwa tidak perlu lagi dilakukan pemeriksaan, audit, atau pemanggilan oleh APH kepada pengguna anggaran karena sudah dilakukan telaah oleh APIP.

Penggiat dan Responder BPK ini juga mengutarakan perbedaan hakiki telaah dan audit sesungguhnya terletak pada pembatasan tindakan.

Artinya, pada telaah tidak mencakup tindakan pengujian terhadap Sistem Pengendalian Intern (SPI), catatan akuntansi dan pengujian atas respon terhadap permintaan keterangan melalui perolehan barang bukti, serta prosedur lainnya seperti yang dilaksanakan dalam suatu audit.

Sebagai contoh, dalam hal pengadaan barang modal yang nilai material, proses telaah hanya meyakinkan bahwa pengadaan barang telah dicatat dalam aktiva tetap.

Sedangkan dalam audit harus dilakukan pengujian bahwa prosedur pengadaan barang tersebut telah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Telaah tidak mencakup suatu pengujian atas kebenaran substansi dokumen sumber seperti perjanjian kontrak pengadaan barang/jasa, bukti pembayaran/kuintansi, serta berita acara fisik atas pengadaan barang/jasa, dan prosedur laainnya yang lazim dilakukan dalam audit.

Maka dapat di pastikan jika dalam pelaksaan telaah tidak akan mengemukakan temuan-temuan yang berindikasi kerugian daerah/negara atau masalah-masalah yang berkaitan dengan unsur tindak pidana korupsi dikarenakan beda metode dengan audit.

Dengan demikian patutlah dilakukan pemeriksaan oleh APH yang menerima informasi awal adanya kerugian daerah/negara di dalam tubuh lembaga yang menggunakan anggaran negara, sebab APH adalah pintu masuk bagi BPK untuk menguji sampai kepada bukti-bukti transaksi.

Jika demikian maka APH dituntut bekerja profesional dan proposional dengan memberdayakan masyarakat terutama penggiat, LSM dan media.

Maka telaah perlu dilakukan semata-mata bukan sebagai dasar penghalang bagi APH untuk melakukan pengujian bukti dengan tujuan menghindarkan kerugian daerah/negara yang lebih besar lagi serta sebagai langkah preventif terjadinya korupsi, tutupnya.

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed